Filsafat dalam Islam
PENDAHULUAN
Filsafat berasal dari bahasa arab falsafah yang diturunkan dari bahasa yunani philisophia, artinya cinta kepada pengetahuan atau cinta pada kebenaran. Orang yang cinta pada pengetahuan atau kebenaran disebut philosophos, atau failosuf dalam bahasa arab, filusuf dalam bahasa Indonesia. Filsafat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), artinya pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal dan hukumnya, sedang falsafah maknanya anggapan, pandangan hidup, gagasan dan sikap batin yang paling umum yang dimiliki oleh manusia. Filsafat secara umum dapat diartikan sebagai pemikiran rasional, kritis, sistematis dan radikal tentang suatu obyek. Bila obyek pemikiran filsafat adalah agama dan ajaran islam maka lahirlah filsafat islam. Filsafat islam adalah pemikiran rasional, kritis, sistematis dan radikal tentang aspek-aspek agama dan ajaran islam.
FILSAFAT DALAM ISLAM
Pengertian filsafat islam seperti yang sudah disebutkan diatas telah ada bersamaan dengan sejarah pemikiran umat islam. Al-Quran sejak semula telah memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya, khususnya untuk menyingkap rahasia alam semesta yang akan mengantarkan manusia kepada keyakinan tentang adanya tuhan yang menciptakan dan memeliharanya. Keyakinan akan adanya Tuhan harus didasarkan atas kesadaran akal, bukan sekedar kesadaran yang bersifat tradisional yakni melestarikan warisan nenek moyang betapapun corak dan konsepnya (Ahmad Azhar Basyir, 1993:17).
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filusuf-filusuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan.'
Sangat banyak ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia menggunakan akalnya untuk berpikir, diantaranya terdapat pada : QS Ali Imran ayat 90, QS Ar Rum ayat 8 dan 21. Akal yang diberi tempat tertinggi di dalam agama islam, mendorong kaum muslimin mempergunakannya untuk memahami ajaran islam dengan penalaran rasional, sejauh ajaran itu menjadi wewenang akal untuk memikirkannya. Pada hakikatnya umat islam telah berfilsafat sejak mereka menggunakan penalaran rasional dalam memahami agama dan ajaran islam. Penalaran rasional dalam memahami ajaran islam adalah mempergunakan akal pikiran untuk berijtihad sebagaimana disebutkan dalam hadits (Ahmad Azhar Basyir, 1993:18-19).
Filsafat islam muncul bersamaan dengan munculnya filosof muslim pertama, Al-Kindi pada pertengahan abad IX M, para filosof muslim yang berfilsafat mendasarkan pemikirannya pada Al-Quran dan Hadis dan memandang kebenaran Al-Quran dan Hadis di atas segala kebenaran yang didasarkan pada akal manusia semata. Para filosof mempergunakan Al-Quran dan Hadis sebagai dasar dan bingkai pemikiran, dapatlah disebut bahwa hasil pemikiran mereka adalah filsafat islam atau filsafat dalam islam (Ensiklopedi Islam Indonesia, 1992:232).
LINGKUP FILSAFAT ISLAM
Berbeda dengan lingkup filsafat modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini.
Ketika Ibn Sina menulis al-Syifa’, yang dipandang sebagai karya utama filsafatnya, ia tidak hanya menulis tentang metafisika, tetapi juga tentang logika, matematika dan fisika. Pembicaraan tentang lingkup filsafat Islam ini perlu dikemukakan, berhubung banyaknya kesalahpahaman terhadapnya, sehingga filsafat Islam dipahami hanya pada bidang metafisik. Kebanyakan kita hanya tahu Ibn Sina sebagai filosof, dan hanya mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sedangkan Ibn Sina sebagai ahli kedokteran, ahli fisika, atau dengan kata lain sebagai saintis dan metode-metode ilmiah yang digunakanaanaya sama sekali luput dari perhatian kita. Jarang sekali, sarjana filsafat Islam di negeri ini yang pernah meneliti teori-teorinya tentang fisika, psikologi, atau geometri, astronomi dan musiknya. Tidak juga kedokterannya yang sangat dikenal di dunia Barat berkat karya agungnya al-Qanun fi al-Thibb. Hal ini terjadi, karena selama ini filsafat hanya dipahami sebagai disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersifat metafisik, sehingga fisika, matematika, seolah dipandang bukan sebagai disiplin ilmu-ilmu filsafat.
PANDANGAN FILSAFAT YANG HOLISTIK
Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam filsafat Islam ini adalah pandangannya yang bersifat integral-holistik. Integrasi ini, terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya penerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga integrasi terjadi di bidang metodologi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitasentitas yang bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks suci, seperti al-Qur’an dan Hadits.
Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui kebasahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumber-sumber yang sah dan penting bagi ilmu. Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf dengan alasan tidak bermakna. Atau ada juga yang telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak, karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi.
PERAN FILSAFAT ISLAM DALAM DUNIA MODERN
a. Menjawab Tantangan Kontemporer
Umat Islam telah dilanda berbagai persoalah ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Berbagai teori ilmiah, dari berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak dipandang perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya bagi Laplace (w. 1827), kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi hipotesa. Ia mengatakan, sekarang saintis tidak memerlukan lagi hipotesa tersebut, karena alam telah bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk kepada Tuhan. Baginya, bukan Tuhan yang telah bertanggung jawab atas keteraturan alam, tetapi adalah hukum alam itu sendiri. Jadi Tuhan telah diberhentikan sebagai pemelihara dan pengatur alam.
Demikian juga dalam bidang biologi, Tuhan tidak lagi dipandang sebagai pencipta hewan-hewan, karena menurut Darwin (w. 1881), munculnya spesies-spesies hewan adalah karena mekanisme alam sendiri, yang ia sebut sebagai seleksi alamiah (natural selection). Menurutnya hewan-hewan harus bertransmutasi sendiri agar ia dapat tetap survive, dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Ia pernah berkata, “kerang harus menciptakan engselnya sendiri, kalau ia mau survive, dan tidak karena campur tangan sebuah agen yang cerdas di luar dirinya. Oleh karena itu dalam pandangan Darwin, Tuhan telah berhenti menjadi pencipta hewan.
Dalam bidang psikologi, Freud (w. 1941) telah memandang Tuhan sebagai ilusi. Baginya bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Tuhan, sebagai konsep, muncul dalam pikiran manusia ketika ia tidak sanggup lagi menghadapi tantangan eksternalnya, serti bencana alam dll., maupun tantangan internalnya, ketergantungan psikologis pada figur yang lebih dominan. Sedangkan Emil Durkheim, menyatakan bahwa apa yang kita sebut Tuhan, ternyata adalah Masyarakat itu sendiri yang telah dipersonifikasikan dari nilai-nilai sosial yang ada. Dengan demikian jelaslah bahwa, dalam pandangan sains modern Tuhan tidak memiliki tempat yang spesial, bahkan lama kelamaan dihapus dari wacana ilmiah.
Tantangan yang lain juga terjadi di bidang lain seperti bidang spiritual, ekonomi, arkologi dll. Tentu saja tantangan seperti ini tidak boleh kita biarkan tanpa kritik, atau respons kritis dan kreatif yang dapat dengan baik menjawab tantangan-tantangan tersebut secara rasional dan elegan, dan tidak semata-mata bersifat dogmatis dan otoriter.
b. Filsafat sebagai Pendukung Agama
Berbeda dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana filsafat dipandang sebagai lawan bagi agama, saya melihat filsafat bisa kita jadikan sebagai mitra atau pendukung bagi agama. Dalam keadaan di mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains dan filsafat modern, filsafat Islam bisa bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama, dengan cara menjawab serangan sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis dan rasional. Karena menurut saya tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga secara ilmiah-filosofis dan bukan semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, maka Islam pada dasarnya bisa dijelaskan secara rasional dan logis.
Selama ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Apalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat Islam, melainkan filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi kalau kita betul-betul mempelajari filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka filsafat Islam juga adalah sangat potensial untuk menjadi mitra filsafat. Di sini filsafat bisa bertindak sebagai benteng yang melindungi agama dari berbagai ancaman dan serangan ilmiah-filosofis.
FILSAFAT ISLAM DI INDONESIA
a. Masa Lalu
Filsafat Islam belum begitu dikenal di Indonesia, karena memang filsafat Islam baru diperkenalkan ke publik pada tahun 70-an oleh almarhum Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya yang terkenal Falsafah & Mistisime dalam Islam. Dalam buku ini, ia telah memperkenalkan 6 filosof Muslim yang terkenal yaitu al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, setelah sebelumnya ia membicarakan tentang “Kontak Pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafah Yunani.” Dalam buku ini dijelaskan dengan singkat tentang biografi dan ajaran para filosof Muslim tersebut, sehingga para mahasiswa Muslim menyadari keberadaan filsafat Islam yang sebelumnya hampir tidak pernah diperkenalkan kepada mereka. Filsafat Islam telah melahirkan bukan hanya 6 filosof, sebagaimana yang telah diperkenalkan oleh Harun Nasution, tetapi puluhan bahkan mungkin ratusan para filosof yang tidak kalah hebatnya daripada filosof-filosof yang telah diperkenalkan sebelumnya.
b. Masa Kini
Pada saat ini kita telah menikmati banyak informasi tentang filsafat Islam. Diterjemahkannya buku yang diedit oleh M.M. Syarif yang berjudul, History of Muslim Philosophy secara parsial ke dalam bahasa Indonesia telah memperkaya khazanah filsafat Islam di Indonesia. Tetapi tambahan informasi yang sangat signifikan terjadi setelah penerbit Mizan menerjemahkan karya besar dalam sejarah filsafat Islam yang diedit oleh Nasr dan Oliver Leaman, yang berjudul A History of Islamic Philosophy ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul Ensiklopedia Filsafat Islam (dua jilid). Berbagai karya filosofis yang lebih spesifik (misalnya yang membahas tentang pemikiran para filosof tertentu) juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti The Philosophy of Mulla Sadra yang ditulis oleh Fazlur Rahman, yang membahas beberapa aspek dari pemikiran Mulla Shadra, atau Knowledge and Illumination, karangan Hussein Ziai, yang membicarakan secara khusus filsafat iluminasi Suhrawardi.
Namun sejauh ini, informasi ini lebih bersandar pada terjemahan dari karya asing, dan bukan karangan sarjana Muslim Indonesia sendiri. Sedikit sekali karya filsafat Islam yang ditulis oleh para penulis negeri ini. Ada misalnya buku tentang Suhrawardi yang ditulis oleh sdr Amroeni, khususnya kritik Suhrawardi terhadap filsafat peripatetik, atau yang ditulis oleh M. Iqbal tentang Ibn Rusyd, sebagai bapak rasionalisme. Namun tulisan-tulisan tersebut masih bersifat studi tokoh, dan pada dasarnya diadaptasi dari sebuah tesis atau disertasi. Tidak banyak penulis Muslim Indonesia yang menulis buku pengantar terhadap filsafat Islam yang bersifat independen, kecuali Haidar Bagir dengan Buku Saku Filsafat Islam-nya.
KESIMPULAN
Filsafat itu bukan merupakan pengetahuan, tetapi juga merupakan cara pandang tentang berbagai hal, baik yang bersifat teoretis maupun praktis. Secara teoretis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebenaran (al-haq). Secara praktis, filsafat menawarkan tentang apa itu kebaikan (al-khayr). Dari dua spektrum inilah kemudian filsafat merambah ke berbagai wilayah kehidupan manusia, sekaligus memberikan tawaran-tawaran solutifnya.
REFERENSI
Ali, Mohammad Daud: Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998
Http://images.ishacovic.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/R1OuXAoKCqMAADL@Vb01/Masa%20Depan%20Filsafat%20Islam.pdf?nmid=70756572. MASA DEPAN FILSAFAT ISLAM, Mulyadhi Kartanegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar