Senin, 22 Februari 2010

Pendidikan Agama Islam

AKAL DAN WAHYU

Pendahuluan
Dalam sejarah pemikiran Islam persoalan hubungan antara akal dan wahyu merupakan isu yang selalu hangat diperdebatkan oleh mutakallimun dan filosof. Isu ini menjadi penting karena ia memiliki kaitan dengan argumentasi - argumentasi mereka dalam pembahasan tentang konsep Tuhan, konsep Ilmu, konsep etika dan lain sebagainya.
Agama islam adalah agama wahyu yang disampaikan malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW yang berawal dari mekah kemudian ke madinah, proses itu berlangsung selama 23 tahun. Sebagai agama wahyu, komponen utama agama islam adalah akidah, syariah dan akhlak yang bersumber dari Al-quran dan Al-hadist.


Kedudukan akal dan wahyu dalam islam
Kata akal berasal dari bahasa Arab al-‘aql yang artinya pikiran atau intelek (daya atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu pengetahuan). Para ahli filsafat dan ahli ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya (kekuatan, tenaga) untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakkan (menjadikan tidak berwujud) benda-benda yang ditangkap oleh pancaindera (Harun Nasution, 1986:12)
Abu Bakar Muhammad ibn Zakariya Al-Razi, di dalam bukunya Al-Thibb al-‎Ruhani, menjelaskan tentang manfaat akal dan sumber-sumbernya yang bisa ‎membuat kita kenal rahasia-rahasia besar di dalam alam raya ini. "Sesungguhnya ‎Tuhan Pencipta memberikan kita akal untuk memperoleh dan mencapai ‎kemanfaatan dunia akhirat. Ia adalah anugerah Allah yang terbesar dan sesuatu yang ‎paling bermanfaat bagi kita."
Al-Qur'an sangat menjunjung peranan akal. Terdapat banyak ayat yang ‎menyerukan agar akal dipergunakan secara benar, meski Al-Qur'an tidak pernah menyebutnya dalam bentuk kata benda (العقل), tapi dalam bentuk kata kerja, seperti: ‎1. ‎'aqaluuhu (عقلوه)‎, ‎2.‎ ta'qiluuna‎ (تعقلون), ‎3.‎ ya'qiluuna (يعقلون) ‎, ‎4.‎ na'qil (نعقل), ‎5.‎ ya'qiluha (يعقلوه). Sebagai contoh dapat disebut ayat-ayat berikut:
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?” (Q.S. Al-Baqarah; 75)

“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (Q. S. Al-Hajj; 46)
Dan mereka berkata: “Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Q. S. Al-Mulk; 10)
Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligene) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi.
Bagaimanapun ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir. Dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan di atas oleh ayat 46 dari surah Al-Hajj, pengertian, pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Ayat-ayat berikut juga menjelaskan demikian:
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Q. S. Al-A’raaf; 179)
Kata-kata tersebut diletakkan oleh Al-Qur’an didalam konteks ayat-ayat yang ‎menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah adalah orang-orang ‎berakal yang merenungi ayat-ayat (tanda-tanda kebesaran)-Nya, dan bahwa ‎orang-orang yang sesat adalah mereka yang tidak menggunakan akal‎.
Kedudukan akal dalam islam sangat penting karena akal adalah wadah yang menampung akidah, syariah serta akhlak. Kita tidak pernah dapat memahami islam tanpa mempergunakan akal. Jika manusia dapat menggunakan akalnya secara baik dan benar sesuai dengan petunjuk Allah, maka dia akan merasa selalu terikat dan dengan sukarela mengikatkan diri pada Allah SWT. Dengan menggunakan akalnya manusia dapat berbuat, memahami dan mewujudkan sesuatu. Dalam ajaran islam ada ungkapan yang menyatakan : akal adalah kehidupan, hilang akal berarti kematian (Osman Raliby, 1981:37). Namun, kedudukan dan peranan akal dalam ajaran islam tidak boleh berjalan tanpa bimbingan wahyu yang berfungsi meluruskan akal jika ia tersesat. Karena itulah Allah menurunkan petunjuknya berupa wahyu.
Karena begitu pentingnya kedudukan akal maka yang membedakan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya yaitu bukan lagi pada tingginya ketaqwaan, tetapi lebih ditekankan pada kekuatan akal, menurut Muhammad Abduh yang dikutip dari Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987:48). Dapat ditegaskan, agama yang sejalan dengan akal yaitu islam, bahkan dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang didasarkan oleh akal. Iman tidak akan sempurna bila tidak didasari oleh akal, Karena akal yang menjadi sumber keyakinan kepada Allah. Dengan melihat alam dan kejadian-kejadian disekitarnya, akal akan sampai kepada alam abstrak (terdapat dalam surat Al-Baqarah:164). Dan akal akan berfikir dari mana semua penciptaan itu, dengan cara ini akal akan menyimpulkan bahwa alam beserta isinya ada yang mencipta, yaitu Allah.
Akal dapat mengetahui dua dasar pokok dalam agama, yaitu: (1) kewajiban mengetahui Tuhan dan (2) kewajiban mengetahui perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dari dua kewajiban pokok di atas terdapat beberapa yang harus diketahui manusia, terutama pada akal, yaitu kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, kewajiban menjauhi perbuatan-perbuatan yang merusak diri sendiri dan kewajiban menolong orang lain.
Akal dapat mengetahui hidup manusia di alam gaib, ini dikarenakan manusia memperoleh pengetahuan tentang kehidupan di alam gaib, walupun tidak secara keseluruhan. Menurut Muhammad Abduh dari kutipan buku Harun Nasution yang berjudul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987:53), pada hakikatnya akal dapat :
1.Mengetahui Sang Pencipta dan sifat-sifatNya.
2.Mengetahui adanya hidup di akhirat.
3.Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraannya bergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
4.Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5.Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6.Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.

Walaupun akal memiliki daya yang kuat, tidak berarti akal dapat memperoleh seluruh pengetahuan yang wajib baginya tentang Tuhan dan tentang alam gaib. Oleh karenanya manusia akan berhajat kepada wahyu, yang membantu memperoleh pengetahuan yang lebih luas tentang Tuhan dan masa depan di alam gaib. Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy, artinya suara, api dan kecepatan. Disamping itu wahyu juga mengandung makna bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-wahy mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Wahyu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Allah kepada para nabi.” Dengan demikian, dalam kata wahyu terkandung arti penyampaian sabda Allah kepada orang pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-Nabi, diberikan oleh Al-Qur’an sendiri. Salah satu ayat dalam surah Al-Syura menjelaskan:
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. Asy-Syuura 51)
Wahyu dalam bentuk pertama kali kelihatannya adalah pengertian atau pengetahuan yang tiba-tiba dirasakan seseorang timbul dalam dirinya, timbul dengan tiba-tiba sebagai suatu cahaya yang menerangi jiwanya. Kedua, wahyu berupa pengalaman dan penglihatan dalam keadaan tidur atau dalam keadaan trance, ru’yat atau kasyf (vision). Ketiga, wahyu dalam bentuk yang diberikan melalui utusan atau malaikat, yaitu Jibril, dan wahyu serupa ini disampaikan dalam bentuk kata-kata.
Firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Adalah dalam bentuk ketiga, dan itu ditegaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam surah Al-Syu’ara dijelaskan:
“Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, – Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), – ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, – dengan bahasa Arab yang jelas.” (Q. S. Asy-syuara; 192-195)
Filosof yang mempunyai akal perolehan lebih rendah dari Nabi yang memperoleh akal material atau hads. Dengan lain kata, filosof tidak bisa menjadi Nabi. Nabi tetaplah orang pilihan Tuhan. Selan¬jutnya filosof hanya dapat menerima ilham, wahyu hanya diberikan kepada Nabi-nabi.

Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat di¬lakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Kalau filosof dalam Islam mempertajam daya pikir atau akalnya dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni abstrak, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengun men¬jauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa.
AI-Farabi, filosof Islam yang hidup di abad kesembilan dan kesepuluh Masehi, telah juga membawa konsep imateri berubah menjadi materi ini dalam falsafat penciptaan alam semesta yang dikenal dengan falsafat emanasi atau pancaran sebagai telah dijelaskan sebelumnya. Tuhan memancarkan akal-akal yang bersifat abstrak murni dan akal seperti dilihat di atas adalah daya pikir.
Ditinjau dari perkembangan masalah materi dan imateri ini, pertanyaan tentang bagaimana wahyu yang bersifat imateri berubah menjadi materi, tidaklah lagi relevan. Dikalangan kaum Orientalis yang menulis tentang Islam, soal wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. ini juga banyak dibahas. Salah satu dari mereka, Tor Andrae, menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk wahyu. Pertama, wahyu yang diterima melalui pendengaran (auditory) dan kedua, wahyu yang diterima melalui penglihatan (visual). Tor Andrae membawa ayat Al-Qur’an untuk memperkuat uraian di atas.
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya – Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. – Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. – Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.”(Q. S. Al-Qiyaamah; 16-19)
Dalam islam, wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, semuanya tersimpan dengan baik dalam Al-quran. Wahyu yang disampaikan malaikat jibril kepada Rasulullah, menurut S. Hossein Nasr seperti yang dikutip oleh Harun Nasution (1986:19) “baik jiwa maupun kata-katanya, baik isi maupun bentuknya” adalah suci dan diwahyukan. Kebenarannya adalah mutlak (absolute). Jika susunan katanya diganti maka disebut penafsiran Al-quran. Penafsiran Al-quran merupakan hasil ijtihad / pemikiran manusia (Harun Nasution 1986:23).
Menurut pendapat Muhammad Abduh, wahyu ada tiga macam:
1.Wahyu yang ditujukan bersama kepada manusia awam dan kaum khawas, dan merupakan sebagian besar dari ayat-ayat Al-Qur’an.
2.Wahyu yang ditujukan hanya kepada kaum awam dan jumlahnya sedikit.
3.Wahyu yang ditujukan hanya kepada kaum khawas dan wahyu serupa inilah yang paling sedikit jumlahnya.
Wahyu memiliki dua fungsi, yaitu:
1.Fungsi pertama sebagai fungsi informasi, dalam hal ini wahyu tidak membawa informasi baru, wahyu hanya memperkuat pengetahuan yang diperoleh akal tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat.
2.Kemudian yang kedua sebagai fungsi konfirmasi.

Kesimpulan
Akal dan wahyu adalah sokoguru ajaran islam. Namun, harus segera ditegaskan bahwa dalam sistem ajaran islam, wahyulah yang pertama dan utama, sedang akal adalah yang kedua. Wahyulah yang memberi tuntunan, arah dan bimbingan pada akal manusia. Oleh karena itu, akal manusia harus dimanfaatkan dan dikembangkan secara baik dan benar untuk memahami wahyu agar berjalan sesuai dengan garis-garis yang telah ditetapkan Allah dalam wahyu-Nya.

Referensi
Ali, Mohammad Daud: Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998
Nasution, Harun: Muhammad Abduh Teologi Rasional Mu’tazilah,Jakarta,Universitas Indonesia,1987
Tamankerinduan.blogspot.com
Udhiexz.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar